Kaavi tiba di kantor lebih pagi dari biasanya. Pandangannya bergerak bergantian dari laptop dan komputer. Tangannya mengetik di atas keyboard dengan cepat.
Rona yang baru saja datang menjadi heran. Selain karena Kaavi tidak pernah berangkat lebih pagi darinya, ia merasa asing dengan keberadaan Kaavi setelah gadis itu jarang berada di kantor untuk bolak-balik menemui Jui.
“Udah lama nggak ketemu lo.” Ucap Rona sambil meletakkan kopi hangatnya di atas meja.
Kaavi mengeluarkan cengirannya, namun dengan cepat kembali fokus pada pekerjaan yang dilakukannya.
“Template FOTR-nya udah jadi.”
Kaavi memutar kursinya untuk menghadap Rona. Ia mengangkat tangannya ke udara dengan semangat. “Yeay, makasih, Rona!”
Rona hanya tersenyum tipis mengamati Kaavi yang lagi-lagi kembali fokus ke pekerjaan usai memberikan perayaan kecil.
“Pagi guys! Gimana gimana udah kangen belum sama gue?” sebuah suara membuat Rona dan Kaavi menoleh bersamaan.
“Lah, lo ngapain di sini?” tanya Kaavi.
Yang ditanya memasang ekspresi tidak percaya. “Serius lo pada lupa kalau gue udah balik dari liputan?” Daksa melihat ekspresi kikuk kedua rekannya. “Wah, bener-bener nggak bisa dipercaya, ya, lo berdua. Udah selama liputan susah banget di-chat, sekarang juga lupa kalo gue pulang? Temen macam apa kalian?!”
Kaavi dan Rona hanya menatap Daksa datar. Sudah terbiasa dengan perilaku dramatis laki-laki itu. Bisa dipastikan detik berikutnya ekspresi Daksa akan berubah cerah seolah seruannya barusan tidak pernah terjadi.
“Gue bawa oleh-oleh, yuhuuu!”
Benar, kan?
Kaavi tertawa ringan melihat tingkah sahabatnya. Ia membawa rolling chair-nya mendekat ke arah Daksa. Tangannya dengan sigap menyambut uluran paper bag dari Daksa.
“Jadi, gimana perjalanan lo?” tanya Kaavi.
“Insanely great, perjalanannya. Insanely stressful, kalo temen perjalanannya.”
Rona dan Kaavi tertawa mendengar jawaban Daksa.
“Gue bener-bener berasa babu, tahu nggak. Dia ribet banget anaknya. ‘Daksa fotoin gue di sini dong, landmark-nya kelihatan, ya’ ‘Daksa, tolong bawain belanjaan gue, dong’ ‘Daksa lo mau ke resto sekarang nggak?’ ‘Daksa tolong dong ada kecoa di kamar gue!’ ‘Dak — ”
“Daksa.”
“Nah, persis banget suaranya kayak gitu!”
Rona menggelengkan kepalanya pelan pada Daksa, memberi isyarat pria itu untuk berhenti bicara. Di sisi lain, Kaavi dengan pelan membawa telunjuknya menunjuk seseorang di belakang Daksa.
Daksa menoleh untuk kemudian terjungkal. “WAAA!” Sira sudah berdiri tepat di belakang Daksa dengan tangan yang diletakkan menyilang di depan dada.
“Lo habis ngomongin gue ya?” tanya Sira, tanpa menunggu jawaban Daksa yang mendadak kikuk ia melanjutkan. “Ikut gue ke ruangan Mas Tama buat laporan.”
Daksa menatap Rona dan Kaavi bergantian dengan tatapan ‘Gue harus gimana?’. Sayangnya, kedua sobatnya tidak banyak membantu dan mengisyaratkan padanya untuk buru-buru masuk ke ruangan Mas Tama.
Usai Daksa dan Sira pergi, Kaavi membawa rolling chair-nya mendekat ke arah meja kerja Rona.
“Ngerjain apa, Ron?” Kaavi melihat ke editan Rona yang hampir jadi. “Wah, bukannya dia artis film itu? Setahu gue film-nya masuk box office, kan?”
“He’eh.” Rona membalas singkat, tangannya sibuk menggerakkan mouse untuk insert beberapa elemen yang mampu mempercantik hasil kerjanya.
“Dia jadi narsum Travel Ideas from Star?”
“He’eh.”
“Ih, asik banget. Sumpah gue kalau nggak ada kerjaan sama si Jui ini kayaknya bakal menyabotase jadwal wawancara lo sama dia, deh.”
Rona memukulkan gulungan kertas yang ada di sisinya pada kepala Kaavi membuat gadis itu mengaduh. “Udah buruan kerjain section Jui, mau naik cetak, kan?”
Kaavi masih memegang kepalanya. “Iya iya.” Gadis itu menggerakkan rolling chair-nya kembali ke tempat semula.
“Berhubung Kamila Haral lagi hype banget, minggu depan dia jadi narsum TIFS lagi. Lo mau ikut gue wawancara dia?”
“MAUUUU!” Kaavia berseru semangat. Kelihatannya dia bisa mengerjakan artikel Jui dua kali lebih cepat saking senangnya.
Tepat sebelum waktu makan siang, Kaavi sudah menyelesaikan template artikel yang siap dicetak. Ia mengirimkan hasil kerjanya ke Jui terlebih dahulu untuk mengetahui tanggapan laki-laki itu.
Read
Kaavi mencibir ke arah ponselnya, lebih tepatnya mencibir pada Jui yang nun jauh di sana. Kaavi kemudian memandang ke arah jam. Sebentar lagi waktunya makan siang, namun kedua rekannya terlihat masih sibuk berkutat dengan pekerjaan. Rona dengan proses penyuntingan akhirnya dan Daksa dengan penyuntingan foto liputan. Kaavi cemberut, kelihatannya ia harus makan siang sendiri hari ini.
Sebelum ia bangkit untuk makan, sebuah pesan baru masuk ke ponselnya.
“Ok tuh ok apaan, sih, Jui? Nggak bisa apa, ya, ngetik panjangan dikit sambil memperhatikan 5W1H?!” Kaavi mendumal kesal melihat pesan Jui yang kelewat singkat.
Daksa dan Rona sudah mengarahkan pandangan ke Kaavi.
Kaavi menunjukkan ponselnya yang memuat kolom chat-nya dengan Jui, meminta dukungan kalau ia tidak salah apabila marah-marah pada lelaki itu. Sayangnya, kedua temannya yang memang sedang sibuk hanya mengangguk-anggukan kepala, mengiyakan Kaavi dengan cepat, membuat gadis itu mendengus sebal. Ia kemudian duduk kembali untuk mengirim hasil pekerjaannya pada bagian editing untuk penyuntingan akhir sebelum dicetak.
“Gue mau makan siang, nih, lo mau nitip nggak?” tanya Kaavi pada kedua temannya.
“Beliin gue kopi aja, Kaav.” Pesan Rona.
“Gue pengen cimol, Kaav.”
“Lo tuh minta ditimpuk, ya, Sa? Gue mau nyari cimol di mana?”
“Ah, gue ngidam cimol banget ini. Tiga puluh hari lidah gue kena makanan western mulu, harus dinetralkan dengan cimol.” Rengek Daksa.
“Sinting. Cari aja cimol sendiri.”
Daksa mencoba menggapai lengan Kaavi. “Becanda-becanda, beliin roti-O aja, deh.”
Kaavi menarik tangannya dengan cepat dari Daksa. Menyempatkan diri berdecih dengan menatap tajam laki-laki itu.
Kaavi akhirnya turun menuju lobby kantornya. Ia memesan roti untuk Daksa kemudian pergi ke coffee shop untuk membeli kopi serta keripik ubi sebagai cemilan. Pada akhirnya ia tidak membeli makanan berat karena selera makannya yang menguap.
Coffee shop tergolong sepi untuk ukuran jam makan siang. Kelihatannya bukan hanya Daksa dan Rona yang sibuk, seluruh jurnalis yang ada di kantornya mungkin tengah berjibaku dengan pekerjaan mereka saat ini.
Kaavi berdiri di dekat kasir untuk menunggu pesanan, malas kalau harus duduk kemudian berdiri lagi dalam kurun waktu yang sebentar. Lagi pula, dengan kondisi sesepi ini, pesanannya tidak akan butuh waktu lama untuk dibuat.
Kaavi memainkan ponselnya. Ia selesai mengirim soft file ke bagian editing. Ia tinggal menunggu konfirmasi apakah artikelnya sudah siap dicetak atau belum. Selanjutnya, ia tinggal memikirkan apa yang akan diliputnya dari Jui untuk kelanjutan sesi FOTR minggu depan.
Sebuah lonceng berbunyi, menandakan ada pelanggan yang memasuki coffee shop. Kaavi tadinya tidak menyadari siapa yang datang sampai wangi parfum yang segar menyeruak di sisi kirinya. Seorang perempuan tinggi semampai dengan rambut panjang bergelombang tengah berdiri di sampingnya. Tidak ada masker maupun kaca mata hitam sehingga Kaavi dapat dengan jelas melihat siapa perempuan menawan yang ada di sampingnya.
“Kamila Haral?” Kaavi tersekat. Kaget karena dapat bertemu artis di tengah panasnya siang Ibu Kota. “Ah, maaf, saya nggak nyangka ketemu anda di sini.” Kaavi menyadari kalau ia bertingkah sangat norak di dekat Kamila.
Perempuan itu tersenyum. “Nggak apa-apa. Jurnalis majalah Racounter?” Kamila justru membawa obrolan mengalir.
“Iya.”
“Kaavia.” Panggilan atas pesanan Kaavi membuatnya dan Kamila mendongak. Kaavi memberi isyarat untuk mengambil pesanannya yang dibalas anggukan oleh Kamila.
“Saya Kaavi dari divisi travel.” Kaavi memperkenalkan diri usai mengambil pesanannya.
“Senang bertemu kamu, Kaavi. Saya juga ada wawancara dengan divisi travel beberapa hari ini. Kalian sangat baik, terima kasih, ya.” Kamila lagi-lagi mengucapkan kata-kata yang membuat hati Kaavi membuncah senang. Kaavi tidak pernah bertemu publik figur seramah ini sebelumnya. “Tapi, kelihatannya kamu harus terima telepon.” Kamila menunjuk ke arah ponsel Kaavi yang terus bergetar.
Kaavi mengamati ponselnya yang menunjukkan nama Galak Banget Kayak Setan tengah memanggil. Kaavi mendengus sebal, heran bagaimana manusia yang satu itu selalu bisa mengganggu harinya.
“Oh iya, kalau begitu saya pergi dulu, ya.” Kaavi pamit pergi dari hadapan Kamila. Ia mengangkat panggilan Jui sembari berjalan. “Ada apa lagi Tuan Muda Jui?”
Kamila terhenyak. Ia buru-buru membalikkan badan untuk melihat ke arah punggung Kaavi yang menjauh. Butuh waktu sampai Kamila menyadari kalau ia harus segera mengejar Kaavi.
“Kamila.” Namun sebuah panggilan membuat Kamila menghentikan langkahnya. Kamila hanya terdiam sambil menatap halaman luar coffee shop dengan hampa. “Kamila.” Panggilan lainnya membuat Kamila menghela napas panjang, mencoba mendapatkan fokusnya kembali.
“Iya, saya ke sana.” Kamila memutuskan untuk tidak lagi mengejar Kaavi. Ia melangkahkan kakinya ke meja pengambilan pesanan.
Jui?