Part 6: Loser-Winner

Kaimaj
5 min readMay 12, 2022

--

Seminggu berturut-turut Kaavi muncul di depan pintu rumah Jui. Bahkan ketika Jui tidak membukakan pintu, gadis itu tetap bertahan selama beberapa waktu. Awalnya, Kaavi hanya akan bertahan selama tiga puluh menit di luar rumah, kemudian semakin hari gadis itu mampu bertahan sampai dua-tiga jam.

Tidak ada lagi ketukan berulang seperti yang biasa dilakukan Kaavi. Kaavi hanya akan mengetuk pintu atau jendela rumah Jui sekali, menandakan kalau ia datang hari itu, kemudian gadis itu akan duduk di kursi yang ada di dekat pintu.

Awalnya Kaavi hanya memainkan ponselnya. Hari-hari setelahnya, ia mulai membawa novel maupun bahan bacaan lain untuk menghabiskan waktu.

Tanpa ada ketukan dan teriakan, entah mengapa Jui justru merasa lebih terganggu. Ia tidak pernah bertemu dengan jurnalis segigih Kaavi sebelumnya.

Hari itu, hari kedelapan Kaavi mendatangi rumah Jui tanpa bisa masuk ke dalamnya. Hari itu pula durasi kunjungan Kaavi bertambah dari biasanya. Sudah empat jam gadis itu duduk di teras rumah Jui. Di genggamannya terdapat buku kelima Harry Potter, Order of Phoenix.

Jui tidak bisa duduk diam di dalam rumah. Walaupun ia tidak terlalu peduli dan tidak memiliki keinginan untuk muncul di majalah, ia merasa tidak nyaman dengan keberadaan Kaavi yang terdiam tanpa suara di balik dinding rumahnya. Mungkin ia merasa sedikit bersalah.

Mungkin.

Jui memutuskan membuka pintu rumahnya.

“Mau lo apa, sih?”

Kaavi melirik Jui melalui sudut matanya. Ia kemudian meregangkan tangannya, cukup pegal setelah duduk berjam-jam.

“Oh, lo udah buka pintunya?” Kaavi bertanya seolah-olah hal itu bukan hal besar, walau dalam hati ia bersorak setelah merasa menang dari Jui.

Jui tentu saja tidak menjawab pertanyaan basa-basi Kaavi. Ia menyandarkan punggungnya di pintu, menunggu Kaavi melanjutkan pembicaraan.

So Mr. Jui Juvistha, do you finally have a time to talk with me?”

Jui tidak menjawab, kesal masih menghiasi wajahnya. Kaavi, di sisi lain, memasang wajah paling bahagianya. Ia mengartikan diam Jui sebagai persetujuan untuk mereka berbicara. Ia segera masuk ke dalam rumah Jui sebelum laki-laki itu berubah pikiran. Jui menggelengkan kepalanya, tidak percaya bahwa ia akhirnya mengizinkan gadis itu masuk ke rumahnya secara sukarela.

“Jui Juvistha, first thing first let me introduce myself properly.

“Nggak nggak, langsung ke intinya aja. Gue udah tahu kalau lo Kaavia dari majalah Racounter.”

Kaavi mencibir. “Still, waktu itu lo belum menerima gue dengan baik. Anggep aja ini kayak perkenalan profesional kita.”

“Lah lo kira sekarang gue udah menerima lo dengan baik?”

Kaavi mengabaikan pertanyaan Jui. Hal itu tidak boleh merusak mood-nya hari ini sehingga ia melanjutkan perkenalannya. “Halo Jui Juvistha, gue Kaavia Arawinda, jurnalis travel dari majalah Racounter. Gue bakal ada di dekat lo selama dua bulan untuk meliput keseharian dan cara lo menghabiskan waktu. Mohon kerja samanya.”

“Gue kan belum bilang kalau gue setuju jadi narasumber.”

“Hah?” Kaavi cemberut. “Terus kenapa lo bukain gue pintu?”

“Karena lo ganggu.”

Kaavi mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Berusaha menahan emosi. “Gue diem aja ganggu?”

“Justru lebih ganggu dari biasanya.”

Kaavi membuang napas kasar. Tidak habis pikir dengan sosok yang ada di hadapannya. “Ju, please lah, are you going to keep hiding behind a shell like a turtle? Bahkan kura-kura aja nggak terus bersembunyi. Dia bakal keluar dari cangkangnya dan pelan-pelan melangkah maju. Nggak malu lo sama kura-kura?”

Jui terdiam, tampak memikirkan ucapan Kaavi. Kaavi berpuas diri merasa kalau nasihatnya dapat menggoyahkan pertahanan Jui. Namun, detik selanjutnya yang Jui ucapkan adalah,

“Dih, lo kira perumpamaan lo bakal bikin gue tergerak terus setuju sama tawaran lo dan majalah bodoh lo itu?” kini Jui menyunggingkan seringai kecil. “Gue udah pernah diumpamain hewan lain ya sama nyokap gue, jadi trik lo nggak mempan lagi.”

Selama dua tahun bersembunyi, Jandra telah mengerahkan segala cara untuk membuat Jui kembali ke kehidupan normal. Salah satunya dengan memberikannya nasihat melalui berbagai perumpamaan. Jui sudah kebal diumpamakan dengan siput, rumput, anemon, koala, kungkang, armadillo, bahkan ikan cupang. Kura-kura tidak ada apa-apanya dibanding semua hal yang pernah disebutkan ibunya.

Kaavi mengacak rambutnya, merasa frustasi dan tidak tahu harus mengatakan apalagi pada sosok keras kepala itu. Jui di sisi lain merasa menang dari Kaavi.

“Oke, lo menang.” Ucapan Kaavi membuat Jui terkejut, ia tidak menyangka kalau gadis gigih itu akhirnya menyerah juga. “Gue nggak bakal ganggu lo lagi. Lo bisa terus hidup kayak gini.”

Jui merasa lega namun ada bagian dari dirinya yang terasa berat. Ia merasa tidak benar-benar menjadi juara, entah mengapa ada sesuatu yang mengganggunya.

Kaavi menghela napas panjang. “Paling nggak kabulin satu permintaan gue.”

Jui menunggu Kaavi untuk melanjutkan.

“Tolong kasih gue bukti kalau gue udah bener-bener ketemu sama lo buat gue laporin ke atasan gue. Biar gue bisa bilang kalo lo emang nggak mau muncul jadi narasumber, bukan gue yang nggak bisa nemuin lo.”

Jui mengangguk-angguk. Yah, bukan hal yang sulit untuk dilakukan, lagi pula ini akan menjadi kali terakhirnya diganggu Kaavi. Tambahan lagi, ia tidak pernah melihat raut seputus asa itu dari Kaavi selama ini.

“Foto?” tanya Kaavi yang dibalas gelengan oleh Jui. “Hmm, walau gue bilang nggak bakal gue post di medsos lo pasti nggak bakal percaya juga, sih. Tanda tangan?”

Jui mengangguk. Kaavi menggerakkan tangan untuk mencari kertas di dalam tasnya. Tangannya berhasil menemukan sebuah kertas HVS yang dilipat separuh.

“Nih, nggak usah gede-gede tanda tangannya, nggak bakal gue post di medsos juga.”

Jui menurut. Ia mengambil pulpen dari genggaman Kaavi kemudian menandatangani kertas sesuai permintaan Kaavi, di sisi kanan kertas. Begitu selesai, Jui mengembalikan pulpen dan kertas Kaavi.

Ada yang aneh.

Raut wajah putus asa Kaavi menguap begitu saja. Wajah Kaavi menunjukkan senyuman yang sangat lebar. Jui merasa ngeri, jangan-jangan gadis di hadapannya berubah jadi gila setelah gagal menggaetnya menjadi narasumber. Senyuman Kaavi berubah menjadi tawa puas yang menggelegar. Jui sedang berpikir perlukah ia berlari dari rumahnya atau memanggil rumah sakit jiwa untuk menjemput Kaavi?

“Makasih, ya, Jui.” Ucap Kaavi di akhir tawanya. “Mohon kerja samanya selama dua bulan ini.” Kaavi mengayunkan tangannya untuk membentangkan kertas yang ada di genggamannya.

Mata Jui melebar. Ia baru saja menandatangani kontrak dengan majalah Racounter. Kaavi sendiri buru-buru berlari keluar dari rumah Jui. Upaya pengejaran yang dilakukan Jui sia-sia. Gadis itu telah mengambil banyak langkah lebih dulu, kecepatan gadis itu dalam berlari juga tidak main-main.

“Kalau lo nggak melaksanakan kontrak, gue anggap wanprestasi. Gue nggak mau kita berakhir di pengadilan, Jui!” ucap Kaavi setengah berteriak mengingat jaraknya dan Jui yang makin jauh setelah laki-laki itu berhenti mengejarnya. “See you tomorrow, Ju!” pamit Kaavi sebelum naik ke motor ojek online yang entah kapan dipesannya.

Jui dengan putus asa mengusap wajahnya. Jui tidak pernah merasa kalah setelak ini seumur hidupnya. Kemenangan mutlak akhirnya menjadi milik Kaavi saudara-saudara.

--

--