Kaavi mengutarakan kondisi Jui pada Mas Tama untuk memberi peringatan laki-laki itu kalau-kalau Jui menolak menjadi narasumber. Mas Tama membalas kalau semuanya tidak masalah, take your time, ia punya banyak waktu, yang justru menimbulkan kecurigaan Kaavi kalau semua ini hanya skenario Mas Tama untuk mengalihkan perhatiannya dari kemarahan atas kegagalan liputan perjalanan yang harusnya ia lakukan. Jangan-jangan fall off the radar section hanya karangan Mas Tama untuk menyibukannya. Yang tentu saja semua itu hanya ia sampaikan dalam kepala mengingat seakrab-akrabnya mereka, Mas Tama masih atasan Kaavi dan bukan Daksa yang bisa ia timpuk kotak pensil kapanpun.
Kaavi kembali ke mejanya begitu selesai menemui Mas Tama. Ia dapat melihat Rona yang sedang melakukan editing, kemudian melirik meja Daksa yang kosong mengingat Daksa yang masih di atas kapal pesiar. Secara otomatis ia membuka ponselnya, melihat ruang obrolan yang lama tidak ia indahkan. Daksa mengirimkan banyak pesan di sana, Rona hanya sesekali menimpali Daksa, sementara ia hampir tidak pernah muncul karena sibuk mencari Jui.
“Lo nggak nyari Jui lagi?” tanya Rona sambil membalik kursinya, menyadari kalau sejak tadi Kaavi hanya terdiam di depan meja Daksa.
“Udah ketemu.” balas Kaavi lesu sambil berjalan gontai ke mejanya.
Rona mengangkat sebelah alisnya, kini membawa kursinya menghadap sebelah kiri, mengikuti perjalanan Kaavi ke mejanya. “Terus kenapa lemes gitu?”
“Dianya nggak mau diliput. Gimana, ya, Ron?” Kaavi meletakkan kepala di atas meja dengan kedua tangan yang dibiarkan menjuntai sampai lantai tanpa dijadikan bantalan kepala. “Padahal ibunya udah setuju, tapi ibunya juga nggak bisa maksa Jui.”
“Bilangin aja kalau ngeyel entar dikutuk jadi batu.”
“Ron, lo lagi bercanda, kan?” tanya Kaavi yang dibalas cengiran Rona.
“Bujuk aja terus, Kaav, lewat chat atau lo ke rumahnya bawa martabak.” Rona mulai memberikan berbagai ide. “Bilang ke dia buat liputan dari hal yang sederhana aja. Kaya hal-hal yang biasa dia lakuin selama di rumah, selama hiatus. Kalau dia belum siap tampil di depan publik, lo foto sudut rumahnya aja atau tempat dia biasa habisin waktu. Intinya kasih dia banyak pilihan.”
Kaavi membuang napas panjang.
“Gue ke Jui dulu, deh, kalau gitu. Thanks, ya, Ron.”
Rona mengangguk. “Bales tuh Daksa di grup, berisik banget.”
Kaavi hanya terkekeh pelan kemudian mengangguk seiring berjalan meninggalkan kantor.
Kaavi tertawa puas membaca pesan Daksa yang menggebu-gebu di groupchat mereka.
Kaavi memutuskan untuk berjalan menuju stasiun KRL. Setelah menemukan rumah Jui, ia paham dengan moda transportasi terbaik untuk sampai ke sana. Begitu sampai di stasiun KRL tujuannya, ia akan memesan ojek online untuk sampai di rumah Jui dalam 15 menit.
Kaavi mengetuk pintu rumah Jui. Masih sama seperti sebelumnya, Jui tidak kunjung membukakan pintu. Ia berinisiatif mengintip jendela yang ada di sisi pintu. Sayangnya, ia harus terlonjak ke belakang begitu wajah Jui muncul dari balik tirai.
Kaavi mengatur napasnya. Jui masih menampakkan wajah datarnya di balik jendela. Wah, walau sudah bertemu sekali, Kaavi masih belum terbiasa dengan wajah laki-laki itu yang… super berantakan.
“Bukain pintunya.” Kaavi menunjuk ke arah pintu.
Jui bergeming.
Kaavi menunjukkan wajah kesalnya. “Gue bobol, ya, pintu lo!”
Jui berdecih kemudian mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda meremehkan pernyataan Kaavi.
“Buka pintunya, ya, Jui.”
Kaavi berbalik untuk melihat sosok yang bersuara di belakangnya. Ia menutup mulutnya begitu menyadari siapa yang ada di belakangnya. Sosok tinggi semampai dengan rambut panjang tersebut memenuhi tangannya dengan paperbag berisi pakaian dan bahan makanan.
“Kanin?” Kaavi masih tidak percaya dengan sosok di hadapannya. Melupakan Jui yang menghadirkan ekspresi masam sambil membukakan pintu.
“Halo, kamu pasti Kaavia dari majalah Racounter.” Kaavi mengangguk cepat mendengar Kanin mulai berbicara. “Tapi, sorry my hands full of this shi — I mean thing, so I can’t shake your hand yet.” Kaavi buru-buru membantu Kanin dengan barang bawaannya, kemudian menjabat tangan Kanin yang kosong.
Jui menyaksikan aksi berjabat-jabat dengan tangan tersilang di depan dada.
“Lo ngapain, sih, ke sini? Bukannya lo di Milan?”
Kaavi bergantian melirik Jui dan Kanin, berusaha menerka hubungan yang dimiliki keduanya.
“Yep, but Mama wants me to make sure her favorite kid will open the door for this poor girl. Kaavia, ayo masuk.”
Kaavi tersenyum. Membenarkan dalam hati tentang betapa malangnya ia yang harus berurusan dengan Jui.
“Kan kita udah punya perjanjian, lo sama Mama nggak akan sering-sering dateng ke sini!”
Kanin menyilangkan lengan di depan dada begitu semua paper bag-nya diletakkan di atas meja. “Be grateful karena gue dan Mama masih mau ngurusin lo, ya! Dih, gue juga nggak mau kali sering-sering ke sini. Rumah auranya negatif begini.”
Jui menggeram, belum sempat meluapkan amarahnya karena Kanin telah mengalihkan perhatian darinya pada Kaavi.
“Sorry, kamu jadi harus lihat keributan pagi-pagi. By the way, mau minum apa?”
“Ah, nggak usah, saya bawa minum sendiri.” Kaavi sengaja mengangkat tumbler air minumnya, membuat Kanin mengangguk.
“Wait a moment, ya, Kaav, my mom ordered me to do something with that dumb bit — boy, I mean. Oh my gosh why I can’t stop cursing?”
Jui bertanya tanpa suara pada Kanin yang berjalan ke arahnya dan dengan cepat menarik jenggotnya. Kanin menyeret Jui menuju kamar. Kaavi dapat mendengar bagaimana Jui berteriak dari mulai Kanin menarik jenggotnya sampai mereka berdua berada di kamar.
Beberapa saat setelahnya, Kanin keluar dari kamar dengan wajah bangga. Di belakangnya, Jui berjalan gontai dengan wajah yang lebih rapi. Kelihatannya Kanin mencukur habis kumis dan jenggot Jui.
“Lo tuh cewek terkasar yang pernah gue kenal, Nin. Kasihan banget cowok lo punya cewek kayak lo.”
“Kak, Kak, Kak, panggil gue yang bener. Udah gue bilang gue kakak lo!” Kanin memukul punggung Jui berkali-kali.
Kanin menghela napas untuk menetralkan emosinya. Menyadari bahwa Kaavi masih mengamatinya, ia mengubah ekspresinya menjadi senyuman.
“Kaavia, sekali lagi aku minta maaf ya, pasti pusing banget denger ribut-ribut sepagi ini.”
“No, it’s really ok.”
“Okay then, as Jui said before I need to go to Milan, so I’ll leave you guys here. Have a good day, Kaavia.” Kanin melambaikan tangan pada Kaavi. “And you, don’t do anything stupid again, okay?” Kanin sengaja menunjuk Jui tepat di depan mata laki-laki itu, membuat Jui mundur beberapa langkah agar telunjuk Kanin tidak mengenai matanya.
“JUST GET OUT OF MY HOUSE YOU STUPID WITCH!”
Jui mengalihkan pandangan pada Kaavi begitu Kanin meninggalkan rumah.
“You too.” Ucap Jui pelan.
“No, it’s so hard to make you open the door, why I have to leave after successfully get in your house?”
“Lo tuh ya!”
“Apa? Gue juga bisa kali mencak-mencak kaya lo.”
Jui mati-matian menahan amarahnya.
“Jui, bisa nggak lo dengerin gue sekali aja?”
“Gak.”
Kaavi mengepalkan tangannya menahan emosi. “Lo tuh, ya!”
“Makanya, there’s no point ngomong sama gue. Lebih baik lo pulang aja, nggak usah ke sini lagi, gue nggak berminat sama tawaran lo, walau nyokap dan kakak gue berminat sama tawaran itu, in the end the decision is in my hands.”
Kaavi menghela napasnya. “Dasar stubborn.”
Jui hanya tersenyum miring yang langsung berganti dengan wajah datar dalam waktu sepersekian detik. Tangannya membukakan pintu rumah. Kemudian menggerakkan kedua tangannya ke arah pintu, seolah pramuwisma yang mempersilakan tuannya untuk keluar dari rumah.
Kaavi membuang napasnya pelan kali ini. Yah, walau dia bisa saja memaksakan diri untuk tidak beranjak dari rumah itu, tetap saja rumah itu bukan rumahnya, dan kalau tuan rumah sudah mengusirnya ia tidak bisa berbuat banyak selain menjaga sopan santunnya, yang kalau boleh jujur sudah mulai luntur sedikit demi sedikit.
Kaavi membalikkan badan sebelum benar-benar pergi dari rumah Jui. Ia menyunggingkan senyuman. “See you, Jui. Lo harus tahu kalau gue nggak akan menyerah segampang itu.” Ia menyempatkan diri melambaikan tangannya.
Jui bergidik ngeri. Ia buru-buru mendorong Kaavi keluar dan menutup pintu dengan cepat. Kaavi langsung mengubah ekspresinya begitu keluar dari rumah Jui. Hari pertama, gagal.