Jui membuka mata begitu sinar matahari masuk melalui celah tirai kamarnya. Ia bangun untuk menutup tirai lebih rapat sehingga hanya sedikit cahaya yang masuk. Kemudian, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil air dingin.
Jui sengaja menyalakan musik melalui pemutar piringan hitam peninggalan kakeknya. Usai musik mengalun, Jui mulai membaca buku-buku lama yang menjadi koleksi neneknya.
Hampir dua tahun ia menempati rumah ini. Rumah liburan keluarga yang selama empat belas tahun tak pernah ia kunjungi. Rumah ini masih terawat karena ibunya mempekerjakan seorang pekerja yang rutin membersihkan rumah serta memotong rumput.
Begitu Jui pindah ke rumah ini, ia menyuruh pekerja tersebut tidak lagi datang untuk membersihkan rumah. Menyuruh ibu serta saudaranya untuk tidak terlalu sering mengunjunginya. Meminta keberadaannya dirahasiakan dan tidak terjangkau dari dunia luar.
Sampai siang harinya yang damai harus terganggu dengan ketukan pintu berulang. Ia berusaha mengabaikannya, namun ketukan itu makin kencang hingga membuatnya tidak bisa fokus pada bacaannya.
“Nggak ada orang.”
Jui hanya asal-asalan menjawab. Ia tidak ingin menemui siapapun yang ada di balik pintu itu.
Ia dapat mendengar decihan remeh dari orang di luar. “Halo, mana ada nggak ada orang tapi ada suara dari dalem? Situ setan?”
Jui memilih mengabaikan. Paling sebentar lagi orang itu akan pergi.
Sayangnya, harapan Jui tidak terwujud. Orang itu makin kencang mengetuk pintu rumahnya. Makin cepat pula intensitas ketukannya.
Jui memutuskan untuk membuka pintu, tampak seorang gadis mungil berambut sebahu. Wajahnya tampak kesal, namun Jui dapat melihat sorot kebahagiaan di matanya, mungkin senang karena berhasil membuat Jui keluar dari rumah.
“Halo Jui Juvistha, sa — ”
“Nggak tertarik.”
Jui menutup pintu kembali.
“Heh, dengerin dulu!” Jui dapat mendengar seruan dari balik pintu yang baru saja ditutupnya.
Selanjutnya ketukan demi ketukan terus dilancarkan oleh gadis itu pada pintu rumah Jui. Jui masih tak acuh, dia percaya kalau secepatnya gadis itu akan menyerah. Benar saja, beberapa menit setelahnya tidak ada lagi ketukan.
Jui merasa penasaran, apakah gadis itu telah pergi atau tetap bertahan di teras rumahnya. Ia lalu mengintip gadis itu dari jendela yang ada di sisi pintu. Rupanya gadis itu tengah berjongkok dengan jari telunjuk sengaja memainkan debu yang ada di lantai, membuat bentuk spiral dari debu-debu itu. Melihat itu, Jui mendengus pelan. Kelihatannya gadis itu cukup kukuh untuk bertahan.
“Heh, gue tahu lo dengerin gue.” Gadis itu berhenti menyentuhkan tangannya pada lantai. Kali ini tangannya tersilang di depan dada dan tatapannya menengadah menatap langit yang mendung. Punggungnya masih membelakangi pintu. “Gue Kaavia Arawinda, dari majalah Raconteur. Majalah gue punya section baru, namanya fall off the radar. Kita mau jadiin lo narasumber pertama buat section itu. Nantinya lo bakal muncul selama delapan edisi alias dua bulan.”
Jui membuang napas ringan. Tidak ada keinginan untuk menjawab maupun menyela ucapan gadis itu.
“Gue nggak tahu kenapa lo sampai memilih berhenti jadi pembalap. Kenapa lo milih mengasingkan diri dari dunia. Tapi, lo mau nggak coba pikirin tawaran ini? Jangan langsung ditolak.” Kaavi masih terus bicara, suaranya tercampur dengan rintik hujan yang mulai turun. “Teknis wawancara, hal apa aja yang boleh di-publish, hal apa yang nggak boleh, semua terserah ke elo. Gue bakal ikutin semua yang lo mau, selama itu bikin lo nyaman buat wawancara.”
Jui menatap langit yang gelap. Hujan makin deras. Percikannya sampai ke teras rumahnya, membuatnya yakin kalau Kaavi pasti terkena percikan hujan tersebut. Ia ragu, perlukah ia membukakan pintu untuk Kaavi karena gadis itu tampak kedinginan. Terbukti dari bagaimana gadis itu memeluk dirinya sendiri sambil berjongkok. Namun, belum sempat ia menarik gagang pintu, sebuah suara menginterupsinya.
“Mau, Jui pasti mau.” Seorang wanita paruh baya berpayung kuning tengah berdiri di hadapan Kaavi.
“Ma!” Jui buru-buru membuka pintu dan menyela ucapan ibunya.
“Kenapa? It’s been 2 years, Ju.”
Jui mengusap wajahnya kasar, pandangannya jatuh pada Kaavi yang kini berdiri di sebelah kirinya, menatap bergantian pada ia dan ibunya. “Masuk dulu.” Jui membukakan pintu lebih lebar.
Ibu Jui menatap Kaavi dengan ramah, meminta gadis itu untuk ikut masuk ke rumah. Kaavi melangkah perlahan di belakang Jui dan ibunya. Ia dapat melihat kalau ibu Jui membawa beberapa bahan makanan yang kemudian diletakkan di atas meja dapur.
“Jui, kalau kamu minta nggak ada mamang buat bersihin rumah, kamu harus bisa bersihin sendiri, dong!” omel ibu Jui begitu melihat kondisi rumah yang sangat berantakan. Tangannya dengan cepat memungut pakaian-pakaian yang ditinggalkan Jui di lantai. “Kamu bisa nyapu, nggak, sih? Kalau nyapunya nggak bersih kamu mau jodoh kamu brewokan?”
Kaavi terkekeh pelan. Namun, langsung berhenti begitu mendapat tatapan tajam dari Jui.
Ibu Jui kembali dari aksi beres-beres singkatnya untuk menemui Jui dan Kaavi. “Oke, jadi sampai di mana kita tadi. Ah, saya Jandra Juvistha, ibu Jui.”
“Saya Kaavia, jurnalis majalah Racounter.” Kaavi membawa tangannya untuk menyalami Jandra.
“Kamu mau lihatin dia sampai kaya gitu, Jui? Mama bisa lihat laser keluar dari mata kamu sekarang.” Jandra lagi-lagi mengomel pada Jui. “Masuk kamar kamu, ini urusan perempuan.”
“Urusan perempuan gimana? Orang lagi bahas aku jadi narasumber majalah, berarti kan urusan aku juga!”
Jandra menarik telinga Jui, “Karena Mama tahu kalau kamu pasti nggak mau, jadi harus Mama yang urus ini semua.”
Jui mengaduh sambil menepuk-nepuk tangan Jandra yang menjewer telinganya, mengisyaratkan pada ibunya untuk melepaskan tangannya dari telinga Jui. Begitu tangan Jandra lepas dari telinga Jui, laki-laki itu mendumal sebelum memilih masuk ke kamarnya.
“Ah, terakhir,” ucap Jandra yang membuat Jui berbalik. “Can you stop wearing grey clothes, Ju? Your face looks super dull.”
Jui menggerutu untuk kali terakhir sebelum menutup pintu kamarnya rapat. Jandra langsung beralih menatap Kaavi yang kini duduk di sampingnya. Tampak perubahan ekspresi Jandra yang signifikan, kini rautnya terlihat lebih serius walau kesan teduh wanita itu tidak hilang.
“Kaavia, kamu bisa lihat sendiri gimana kondisi Jui, kan. Saya jelas senang ketika kamu datang dan menawarkan Jui untuk jadi narasumber. Tapi, saya sendiri nggak yakin apa Jui sudah cukup siap untuk muncul kembali ke publik.” Jandra tampak mengingat sesuatu kemudian bangkit. “How impolite I am. Saya harusnya menawarkan minuman untuk tamu penting.”
Kaavi melambaikan tangannya, mengisyaratkan pada Jandra untuk tidak repot-repot memberinya minuman yang tentu saja tidak berguna karena Jandra telah terlanjur menyeduh teh hangat untuknya. Jandra meletakkan secangkir teh di hadapan Kaavi, kemudian duduk kembali di tempat semula.
Ia menghela napas sebelum memulai kembali pembicaraan. “Sekeras apapun saya di depan Jui, memaksanya untuk mulai membuka diri, semuanya tentu saja tidak akan berjalan tanpa kemauan Jui itu sendiri. Saya berharap kamu mengerti, Via.”
Kaavi mengangguk, walau agak terkejut dengan cara Jandra memanggilnya Via. “Saya tahu, Tante. Saya juga sudah baca artikel tentang Jui dan alasannya hiatus. Meski begitu, saya merasa Jui perlu untuk kembali. Bukan untuk menunjukkan keberadaannya pada orang lain, tapi untuk dirinya sendiri. Dia nggak bisa selamanya berdiam di sini karena hal itu nggak akan menyembuhkan lukanya.”
Jandra tersenyum, kali ini tidak ada lagi raut wajah serius yang semula ia tampakkan. “Karena itu, kamu jangan menyerah, ya, Kaavia.”
Kaavi membulatkan matanya.
“Jui nggak akan langsung mau dengan tawaran kamu. Tapi saya harap kamu nggak akan menyerah membujuk Jui jadi narasumber. Saya juga akan bantu kamu.” Jawaban Jandra memunculkan senyum di wajah Kaavi. “Karena kamu yang pertama peduli akan luka Jui.”
Kaavi tersenyum mendengarnya. Jandra memulai obrolan lain dengan Kaavi seperti berapa usia Kaavi, sejak kapan ia menjadi jurnalis, dan di mana tempat tinggalnya. Kaavi menandaskan tehnya lalu pamit pada Jandra mengingat waktu yang sudah malam dan hujan yang sudah berhenti.
Jandra sengaja berteriak memanggil Jui untuk berpamitan dengan Kaavi. Laki-laki itu berjalan malas keluar kamar dengan tampang yang super masam kemudian berdiri di samping ibunya, persis seperti anak kecil yang ngambek karena tidak mendapat gulali kesukaan.
“Hati-hati di jalan, Via.”
“Makasih, Tante. Besok saya akan ke sini lagi.”
Jui melotot, kemudian bergantian memandang ibunya dan Kaavi untuk mendapat jawaban. Sayangnya, Jandra memilih mengangkat bahunya, membuat Jui menebak-nebak hal yang akan terjadi.
“Ah, cardigan biru kamu kelihatan sangat cantik. Cocok untuk kamu.”
Kaavi lagi-lagi tersenyum sebelum membungkuk sebagai pamit terakhir pada Jandra dan Jui.