Kaavi merutuki dirinya di sepanjang perjalanan menuju rumah Jui. Kenapa dia tidak memikirkan kalau kemunculan pertama Jui ke publik pasti akan membuat nama laki-laki itu trending di mana-mana. Dampaknya pasti akan membuat berita lama Jui muncul kembali ke permukaan.
Kaavi telah menghubungi Jandra. Sayangnya, Jandra tengah berada di Milan bersama Kanin. Satu-satunya cara untuk menjangkau Jui hanyalah dengan datang ke rumah liburan laki-laki itu, seperti yang dilakukannya saat ini.
Begitu sampai, Kaavi menggedorkan tangannya pada pintu berulang kali.
“Ju, bukain pintu!” Kaavi memanggil berulang kali namun tidak ada jawaban. “Jui!”
Tangan Kaavi masih sibuk mengetuk pintu rumah Jui. Sementara itu, ia juga mendekatkan telinganya ke pintu, memeriksa tanda-tanda keberadaan Jui. Ia dapat mendengar suara Jui dari dalam sana. Suara yang mirip rintihan lebih tepatnya.
“Jui!” Kaavi memanggil sekali lagi. Tangannya memutuskan untuk bergerak ke bagian kenop pintu yang ternyata tidak dikunci. “ANJIR!”
Kaavi langsung berlari menuju kamar Jui. Ia dapat melihat Jui terduduk di lantai. Punggung laki-laki itu bersandar pada tempat tidur sementara tangannya terkulai di atas lantai. Kaavi semakin panik begitu menyadari banyaknya darah di lantai, darah yang bersumber dari pergelangan tangan Jui. Kaavi melepas cardigan-nya dengan cepat untuk dibalutkan pada luka Jui, berusaha sebisa mungkin menghambat pendarahan.
Tangan Kaavi gemetar hebat. Namun, ia mencoba mengesampingkan kekalutannya dan menghubungi rumah sakit terdekat.
“Ju, hei jangan tutup mata lo,” Kaavi berusaha membuat Jui tetap sadar. “Ju, maafin gue. Maaf.” Kaavi menggigit bibirnya, rasa menyesal menerjangnya dengan kuat.
Kaavi menepuk-nepuk pipi Jui. “Ju, please…” Kaavi merintih menahan air matanya yang makin deras. “Jangan mati, Ju.” Suara Kaavi hampir hilang.
“Argh, mana sih ambulans-nya?!” Kaavi setengah berteriak dengan suara serak, tidak sabar menunggu paramedis datang. Tangan kirinya mengacak rambut frustasi sementara tangan kanannya masih menjaga balutan pada tangan Jui.
Kaavi menatap lekat ke arah Jui. Tangan kirinya kini mengelus wajah Jui yang makin pucat. “Stay with me, okay, Ju? Please, stay alive.”
Bertepatan dengan ucapan terakhir Kaavi, Jui menutup kedua matanya. Air mata terakhir menetes dari mata cokelat laki-laki itu. Bertepatan dengan hal itu pula, Kaavi berteriak kencang memanggil nama Jui.
***
Jui tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit. Sementara itu, Kaavi duduk di kursi yang ada di samping ranjang. Gadis itu menghela napas berkali-kali. Di satu sisi merasa lega karena nyawa Jui masih terselamatkan, di sisi lain merasa takut sekaligus bersalah karena kondisi buruk Jui terjadi karenanya.
Tangan Kaavi mengelus tangan Jui, seolah cara itu mampu menyadarkan Jui.
“Jadi karena ini lo selalu pakai baju lengan panjang.” Kaavi berujar sambil menatap pergelangan tangan Jui. Terdapat beberapa luka bekas sayatan di sana. Kelihatannya kejadian ini bukan yang pertama kalinya bagi Jui. Kaavi lalu berhenti mengelus tangan Jui. Ia menghela napas panjang untuk kali terakhir. “Maafin gue, ya, Ju.”
Kaavi mendengar pintu ruangan terbuka. Tampak Daksa dengan raut wajah khawatirnya di sana. Kaavi yang telah berhenti menangis langsung runtuh begitu melihat Daksa. Gadis itu menghampiri Daksa dan menghambur menuju pelukan laki-laki itu.
“Sa… gue takut banget.”
Daksa menepuk punggung Kaavi yang kini tengah berada di pelukannya. “Ssstt, nggak apa-apa, Kaav. Semuanya udah berlalu. Semuanya bakal baik-baik aja.”
Kaavi mengangkat kepalanya untuk menatap Daksa. “Semuanya gara-gara gue, Sa.”
“Bukan salah lo, Kaav.” Daksa kemudian mengangkat salah satu telunjuknya untuk menoyor dahi Kaavi. “Berhenti nangis karena muka lo jelek banget sekarang.”
Kaavi berdecih lalu melepas pelukannya dari Daksa.
“Lo udah hubungin ibunya Jui?” tanya Daksa yang saat ini tengah berjalan menuju sofa ruangan Jui.
Kaavi mengikuti langkah Daksa dan duduk di samping laki-laki itu. “Udah. Ibunya langsung ambil flight ke sini begitu gue telepon. Tapi tetep aja, kemungkinan tercepat sampai masih besok pagi.”
“Berarti lo semua yang ngurus administrasi termasuk biaya ruangan VVIP ini?”
Kaavi mengangguk. “Makannya sekarang saldo tabungan gue tinggal setengah. Tapi gue paham banget kalau Jui butuh privasi. Dari masih di ambulans gue bilang ke paramedis buat pesen ruang VVIP untuk Jui dan pastiin kalau selama perjalanan dari ambulans ke ICU sampai akhirnya ke ruang perawatan privasi Jui tetep kejaga.”
Daksa menatap Kaavi dari samping. “Lo pasti kaget banget, ya?”
Kaavi menoleh untuk menghadap wajah Daksa. Kaavi lantas mengangguk.
“Utututu, kasihan banget kesayangan gue.” Daksa mencubit kedua pipi Kaavi. Kaavi langsung menjauhkan wajahnya dari Daksa untuk menghentikan cubitan laki-laki itu.
“Tuh kan, Sa, tiap Mas Tama ngasih kabar baik ke gue pasti habis itu ada aja kejadian buruknya.”
Daksa terkekeh mendengar ucapan Kaavi. “Ini karena weton lo sama Mas Tama nggak cocok kali.”
“Dih, emang lo tahu weton Mas Tama apaan?”
Kali ini Daksa tertawa. “Ya enggak, lah.”
Kaavi berdecih pelan. Namun, selanjutnya gadis itu ikut terkekeh. “Makasih, ya, Sa.”
Daksa sedikit terkejut mendengar ucapan Kaavi. “Widih, tumben-tumbenan, nih.”
“Makasih karena selalu ada buat gue.”
Daksa tersenyum membalas ucapan Kaavi. “Makanya, lo — ” Ucapan Daksa terputus begitu Kaavi menyadari sesuatu.
“Jui? Lo udah sadar?” Kaavi langsung berdiri dan berjalan cepat menuju ranjang Jui.
Jui mengerjap beberapa kali. Laki-laki itu menyesuaikan matanya akan terangnya cahaya lampu yang tiba-tiba masuk. Ia mencoba duduk namun ditahan oleh Kaavi.
“Pelan-pelan aja.”
Mata Jui mengarah pada sosok yang berdiri tepat di depannya. Kaavi yang menyadari pandangan Jui pun memperkenalkan Daksa.
“Ah, ini Daksa. Temen gue.”
Daksa mengangkat dagunya sebagai isyarat perkenalannya. Jui hanya bergeming sebelum tangannya menunjuk air mineral yang ada di sisi ranjang.
Kaavi dengan cepat membukakan air mineral dan membantu Jui meminumnya. Jui menenggak air hingga tinggal separuhnya yang tersisa.
“Nyokap lo masih di perjalanan. Lo istirahat dulu aja, ya. Gue mau panggil perawat.” Kaavi menyambar tangan Daksa untuk mengajak laki-laki itu keluar. “Udah malem, Sa, lo pulang aja.” Ucap Kaavi begitu mereka tiba di luar ruangan.
“Terus lo gimana? Udah gak apa-apa?”
Kaavi mengangguk. “Lagian ada yang mau gue omongin ke Jui.”
Daksa menatap Kaavi. Cukup lama sampai benar-benar yakin kalau gadis itu baik-baik saja. Ia kemudian membawa kedua tangannya ke bahu Kaavi. “Kalau ada apa-apa kabarin gue, ya. I’m only a call away, okay?”
Kaavi tersenyum. “Iyaaaa, Daksa.”
Punggung Daksa menghilang di ujung koridor. Bertepatan dengan itu, Kaavi melangkahkan kakinya menuju meja perawat untuk memberi tahu kondisi Jui yang sudah sadar. Seorang perawat membawa beberapa alat medis dan berjalan bersama Kaavi menuju ruang perawatan Jui.
Perawat mengecek tekanan darah dan suhu Jui. Ia juga memeriksa refleks dasar Jui.
“Secara umum kondisinya sudah stabil. Tapi untuk lebih jelasnya bisa ditanyakan besok waktu ada visit dokter.” Perawat tersebut mengingat sesuatu kemudian menggerakkan tangannya untuk mengambil barang yang ia bawa. “Ah, tadi kami coba laundry cardigan-nya, tapi darahnya tetap tidak mau hilang.”
Tangan Kaavi menyambut uluran cardigan-nya. “Nggak apa-apa, Sus. Terima kasih banyak, ya.” Perawat tersebut mengangguk sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.
Ruangan diliputi keheningan. Baik Jui maupun Kaavi sama-sama tidak ada yang mulai pembicaraan walau pikiran mereka penuh akan hal yang ingin disampaikan. Kaavi masih berdiri di ujung ranjang sedangkan Jui duduk di ranjangnya dengan punggung yang tersandar pada kasur.
“Sorry,”
“Sorry,”
Ucap keduanya bersamaan. Sama-sama terkejut dengan ucapan lawan bicaranya yang selama ini mereka kenal menyebalkan.
“Lo minta maaf buat apa?” tanya Kaavi, kali ini memilih mendudukan diri di samping Jui.
“Hmm… banyak hal. Tapi yang utama, maaf karena lo harus menyaksikan gue di titik paling rendah.” Tangan Jui bergerak untuk mengambil cardigan yang ada di tangan Kaavi. “Maaf juga bikin cardigan putih lo jadi kotor.”
“Ju, gue yang harusnya minta maaf. Karena gue, lo harus ada di kondisi ini.” Kaavi menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada tempat tidur Jui. Rasanya ia tidak bisa terus menatap wajah Jui karena perasaan bersalah. “Gue bakal bilang ke atasan gue kalau section ini nggak bisa dilanjutin.”
“Nggak perlu.” Ucapan Jui membuat Kaavi mendongak. Kaavi dapat melihat Jui yang memandang lurus ke depan. “Ini bukan salah lo atau section yang ada di majalah lo, Kaav. Semua yang terjadi dari awal salah gue. Gue yang melakukan kesalahan itu tapi gue juga yang lari dari publik. Wajar aja kalau gue harus menghadapi konsekuensi di mana kemunculan gue di publik akan membawa berita itu naik lagi.”
“Ju, that was an accident. I know kalau peristiwa itu traumatis buat lo. Tapi, jangan salahin diri lo sendiri.”
Jui terdiam, walau sebenarnya memberikan sanggahan dalam hati. Matanya kini bertatapan dengan mata hazel Kaavi. “Makasih, ya, Kaav.”
Kaavi lagi-lagi dibuat terkejut dengan ucapan terima kasih Jui yang tiba-tiba.
“Makasih karena lo mengatakan supaya gue nggak mati dan tetep stay di sini.”
“Lo… denger?”
Jui mengangguk. Kali ini memberikan senyuman tipis. “Lo orang pertama yang bilang itu.”
“Nyokap lo?”
Jui kembali menghadap lurus ke depan. Ia membawa jari-jarinya menyatu membentuk prisma dengan jari telunjuk dan tengah diletakkan pada dagu, memberikan tampang berpikir.
“Nyokap gue bakal menangis sepanjang hari. Kanin sebaliknya, dia bakal marah-marah dan bilang kalau gue bodoh. Dia bakal ngeluarin semua sumpah serapah yang dia tahu,” Jui terkekeh pelan kalau mengingat semua ucapan Kanin yang sering kelewat kasar. “Tapi lo tahu, kan, keluarga jarang ngungkapin perasaan mereka yang sebenarnya. Gue tahu kalau mereka juga pasti takut dan frustasi sama apa yang gue lakukan, tapi mereka nggak bisa bilang. Pada waktu-waktu itu, gue merasa sangat bersalah. But I can’t help it, Kaav.” Jui mengakhiri kalimatnya dengan memandang Kaavi, tatapannya sendu.
Melihat wajah Jui yang muram, Kaavi ingin sekali mengulurkan tangan dan mem-pukpuk punggung laki-laki itu. Namun, ia memilih tidak melakukannya dan menunggu Jui mengeluarkan semua perasaannya.
“Rasanya kayak ada badai di kepala gue. Rasanya kayak terjebak di tengah-tengah labirin, tapi sebelum gue berhasil keluar dari labirin itu, dinding-dindingnya menghimpit gue sampai gue nggak bisa bernapas.” Jui menggigit bibirnya. “Rasanya kayak mati jadi satu-satunya cara untuk bebas dari labirin dan badai itu. I can’t help it, Kaav.”
“Then, let me help you.” Kaavi tersenyum. “Gue nggak tahu, sih, apakah gue pantes buat menawarkan bantuan. Tapi, semua yang terjadi hari ini karena kemunculan lo di majalah Racounter. Gue sebagai jurnalis majalah Racounter akan bertanggung jawab dan membantu lo. So, let me help you, Ju.”
Kaavi menggerakkan tangannya untuk mengambil tisu yang tersedia di sisi ranjang Jui. Ia menyobek tisu tersebut untuk membuat bentuk yang lebih panjang. Kemudian Kaavi menyandarkan tangan kiri Jui pada ranjang. Ia membawa tisu yang telah disobeknya pada tangan Jui. Melingkarkan tisu itu pada pergelangan tangan Jui dan menalikannya untuk dibentuk seperti pita.
Kaavi tersenyum kecil melihat hasil karyanya. Jui di sisi lain bingung dengan apa yang baru saja dilakukan gadis itu.
“Tiap kali badai lo datang dan lo terjebak di labirin, panggil gue. Gue nggak bakal bisa langsung dateng, sih, makanya selama nunggu lo harus janji sama gue buat pita dari tisu. Tiap kali lo mau melukai diri lo sendiri, lo harus buang pikiran itu jauh-jauh, dan buat pita dari tisu sebagai gantinya.”
Jui tertawa pelan. “Anak-anak banget, sih.”
“Eh, lo ketawa, ya, barusan?” Kaavi menggerakkan telunjuknya untuk menunjuk Jui. Jui buru-buru mengatupkan bibirnya, lantas memasang wajah dingin kembali. “Dih, ketawa aja, nggak papa.” Kaavi merengut begitu lagi-lagi wajah Jui berubah jadi mengesalkan.
Jui berusaha mencari topik baru. “Jadi, apa ide lo untuk section di minggu ketiga?”