Kaavi keluar dari apartemennya dengan langkah ringan. Selama seminggu ini, Kaavi selalu bangun pagi bahkan bila ia harus tidur pukul tiga usai mengerjakan deadline. Seminggu ini pula, energinya menguar kuat tanpa berkurang sedikitpun di tempat kerja. Hal yang jarang terjadi mengingat Kaavi selalu punya banyak tugas dan deadline untuk dikerjakan.
Ia sampai di kantor sambil bersenandung. Kedua sobatnya sudah mulai terbiasa dengan perubahan sifat Kaavi belakangan ini. Lagi pula, Daksa dan Rona paham mengapa Kaavi bisa sebahagia itu. Yah, siapa yang nggak bahagia kalau akan melakukan liputan khusus perjalanan kapal pesiar selama tiga puluh hari?
Daksa memutar rolling chair-nya untuk sampai ke tempat Kaavi duduk.
“Lo tahu nggak kalo orang kantor lagi ngomongin lo?”
Kaavi masih tetap tersenyum ketika menoleh pada Daksa yang berada di sisi kanannya.
“Kenapa? Karena belakangan gue cakep, ya?”
Daksa menggeleng. “Mereka tanya lo abis kejedot apa sampai jadi sinting begini?”
Kaavi mendengus pelan. Kemudian dengan masih menyunggingkan senyum, ia mendorong kursi Daksa menjauh menggunakan kakinya, membuat Daksa berputar beberapa kali sebelum berhenti karena menabrak kursi Rona.
“Daksa, editan gue kecoret!”
“Gara-gara Kaavi, Ron!” Daksa ikut meninggikan suara, tidak mau kalah dengan Rona.
Rona langsung menatap Kaavi dengan tajam. Kaavi mengulas sebuah cengiran sambil tangannya buru-buru menyalakan komputer sebelum Rona sempat mengomel.
Keadaan menjadi lebih hening. Daksa telah kembali ke mejanya dan mulai melakukan pengeditan hasil foto. Rona juga melanjutkan tugasnya untuk membuat lay out konten baru majalah pekan ini.
Rona berhenti menggerakkan jemarinya begitu sebuah tanda pesan masuk muncul melalui notifikasi pada layar komputernya.
“Kaav, dipanggil ke ruangan Mas Tama.”
“Oh ya?” Kaavi bertanya dengan semangat. Ia langsung bangkit dan berjalan ceria menuju ruangan kepala divisinya. “Ah, pasti mau ngomongin soal jadwal keberangkatan, ya? Aduh, gimana dong gue excited banget!”
Daksa dan Rona hanya bisa menggeleng melihat Kaavi yang sudah berjalan dengan langkah ringan. Belum pernah mereka melihat Kaavi sesemangat itu kala dipanggil ke ruangan atasan. Mereka terus memperhatikan Kaavi hingga gadis itu menghilang di ujung lorong.
“Kamu nggak jadi berangkat.” Adalah kata pertama yang diucap Mas Tama begitu Kaavi sampai di ruangannya.
Kaavi menghapus senyumannya. Pada detik berikutnya, ia memukulkan kepalan tangannya pelan pada bahu Mas Tama. “Ey, Mas Tama bercanda aja.”
Mas Tama hanya terdiam tanpa membalas perkataan Kaavi. Raut wajahnya menunjukkan rasa bersalah.
“Mas, saya berangkat dua hari lagi loh!” kali ini senyum Kaavi benar-benar hilang. “Saya udah research semuanya tentang kapal pesiar itu, krunya, destinasi transitnya, onboard experience, bahkan local attractions and food udah saya cari. Kenapa tiba-tiba nggak jadi, Mas?”
Kaavi langsung teringat bagaimana ia dengan semangat menyiapkan koper sebulan lalu. Perintah Mas Tama yang menyuruhnya meliput perjalanan 30 hari di atas kapal pesiar masih segar di kepalanya. Bahkan selama seminggu ini Kaavi tidak bisa tidur membayangkan hal-hal menarik apa saja yang akan ia temui di perjalanan. Tiba-tiba harapannya kandas di tengah jalan.
Memang, harusnya Kaavi curiga mengapa semua hal berjalan terlalu baik belakangan ini. Rasanya ada yang aneh ketika ia bisa begitu bahagia tanpa ada hal buruk terjadi. Ternyata hal buruk itu benar-benar terjadi ketika puncak kebahagiaannya berada di depan mata.
“Keputusan dari atas, Kaav. Saya juga nggak bisa ngapa-ngapain.” Mas Tama mengusap wajahnya. Paham betul kalau ia pantas mendapat amukan Kaavi.
“Dari atas mana, sih, Mas? Atas genteng? Biasanya juga mereka nggak ikut campur ngapain sekarang jadi ngatur-ngatur? Mereka lagi sensi sama saya, ya?” Cerocos Kaavi dengan berbagai pertanyaan.
“Nggak gitu, Kaavi.”
“Terus gimana? Sayang dong tiketnya kalau saya nggak jadi berangkat.”
“Tiketnya nggak masalah. Liputannya tetep berlangsung,” Mas Tama menggantungkan kalimatnya untuk melihat ekspresi Kaavi. “Tapi ganti jurnalis.”
Kaavi melebarkan matanya. Mulutnya telah membentuk huruf A. “Wah, bisa-bisanya!” Kaavi masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Butuh waktu sampai Kaavi menanyakan pertanyaan berikutnya. “Siapa, Mas?”
Mas Tama menatap Kaavi yang sekarang sedang berkacak pinggang. Lengan kemejanya entah bagaimana sudah sampai di batas siku. Menandakan kalau ia siap bertempur melawan siapapun yang menyabotase kebahagiaannya.
“Sira.” Mas Tama menjawab pelan, sadar betul kalau jawaban itu hanya akan menambahkan minyak pada api.
“Waaah!” lagi-lagi Kaavi berseru tidak percaya. Ia mondar-mandir ruangan Mas Tama masih dengan berkacak pinggang. “Mas Tama tahu kan kalau dia jurnalis fashion?”
Mas Tama meletakkan kedua tangannya di atas meja kemudian membuang napas kasar. “Tahu, Kaav. Tapi ini permintaan atasan.”
“Kenapa?”
Mas Tama tidak segera menjawab pertanyaan Kaavi.
“Perusahaan ayahnya jadi sponsor liputan kali ini.” Mas Tama menjawab sambil memejamkan mata. Bersiaga kalau-kalau Kaavi melemparkan vas bunga atau sepatu kanvasnya ke arahnya.
Namun, tidak ada hal yang terjadi. Tidak ada lagi seruan dari Kaavi. Bahkan gadis itu telah menurunkan kedua tangannya dari pinggang.
“Kalau gitu, saya juga nggak bisa apa-apa, Mas.” Kaavi berujar dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya. “Kamera? Setahu saya Sira kalau kerja harus sama fotografer. Mau dari fotografer fashion juga?”
Mas Tama menggeleng. “Daksa…”
“Waahh!” Kaavi berseru kembali begitu nama Daksa disebut. “Wah, mau ditaruh di mana muka saya kalau saya nggak jadiberangkat tapi malah Daksa yang berangkat. Dia bakal ngejek saya tujuh turunan, Mas!”
“Itu juga permintaan Sira, Kaav.” Mas Tama mengetukkan jemarinya sebelum kembali bicara. “Hasil research sama rencana liputan yang udah kamu buat, tolong kasih ke Sira, ya, Kaav.”
“Dih, dia suruh research sendiri aja.”
“Yah, tolong dong, Kaav. Kamu tega sama saya?” Mas Tama meminta dengan nada memelas.
“LAH, MAS TAMA AJA TEGA SAMA SAYA!”
“Iya iya, maafin saya. Tapi, saya masih belum selesai ngomong sama kamu. Kamu bakal dialihin ke liputan lain.”