Jara terbangun begitu sinar matahari melewati tirai kamarnya. Pandangannya yang masih buram, karena belum terbiasa dengan cahaya, mendadak terhalang oleh sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Good morning, Jara. How’s your sleep?”
Jara mengabaikan pertanyaan basa-basi itu dan memilih mendudukan diri di kasurnya.
Sosok laki-laki di hadapannya kini sedang berdiri sambil mematutkan diri di depan cermin. “Do I look good?” Lelaki itu tampak berputar beberapa kali, mencoba meniru perilaku Jara tiap gadis itu mencoba pakaian baru sebelum pergi.
“No.”
“Ah, Jara, I’m deadly serious right now.”
Jara tidak menjawab. Ia bangun dari duduknya kemudian melangkah mendekati laki-laki itu. Tangannya bergerak ke kerah lelaki itu yang sedikit naik, kemudian membenahinya.
“Now you look perfect.”
Lelaki itu tersenyum. Diraihnya tangan Jara yang masih tersandar di bahunya. Lelaki itu menggenggam tangan mungil Jara dan memberi kecupan di punggung tangannya.
“Jara, I love you. Now and forever.”
“Then get back home early today. I wanna dance with you.”
Lelaki itu mengedipkan salah satu matanya kemudian bergegas mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja.
Jara tersenyum melihat lelaki itu pergi.
***
Jara tengah mematutkan diri di depan cermin. Gaun panjang hitamnya terlihat pas di tubuh. Ia tak lupa menyiapkan musik dansa bertempo pelan serta dua gelas wine di ruang tengah.
Pukul tujuh, sosok laki-laki yang ditunggunya tiba. Laki-laki itu bersandar sebentar di dinding, terkesan dengan segala persiapan yang telah dilakukan oleh Jara. Senyuman terukir di wajahnya.
Jara tersenyum lebar. Kedua tangannya telah dibuka lebar-lebar, sengaja meminta pelukan singkat lelaki itu sebelum benar-benar berdansa.
Laki-laki itu membawa Jara ke dalam pelukannya. Dihirupnya aroma floral khas yang dimiliki oleh Jara. Lantas ia berbisik, “Damn, I really love you, Jara. You look so pretty, the moon might envy you right now.”
Jara terkekeh mendengar ucapan laki-laki itu.
Laki-laki itu mengulurkan tangan, tanda dansa yang akan segera ia mulai. Jara dengan senang hati menyambut uluran tangan itu.
Dan begitulah mereka akhirnya mengikuti alunan musik klasik sambil berdansa mengitari ruang tengah yang temaram.
“I wish I could dance with you forever.” Jara berucap begitu mereka sampai di penghujung musik. Mendekap tubuh satu sama lain dengan gerakan dansa yang lebih pelan, hanya mengayun ke kanan dan kiri.
“I wish I could grant your wish.” Ucap lelaki itu dengan nada sendu.
Jara menengadahkan kepala untuk menatap lelakinya lebih dekat. Matanya sudah berkaca-kaca.
“Life is cruel, isn’t it?” Laki-laki itu berujar sebelum membawa kepala Jara lebih dekat ke jantungnya.
“I wish I could hear your heart beating for the last time.”
“Jara… I love you, now and forever. I may not be able to keep my promise to dance with you every day, but I keep my promise to love you ’til the last breath of mine. I love you. But I hope you can find someone to love you like I ever did, to dance with you every day, to tell you how beautiful you are whenever he sees you around. I’m sorry cause I can’t be that person. But I will forever protect you, from a place and time that has no end. I want you to be happy even though you’re not mine, I’ll be forever yours.”
Jara terisak.
“Damara, you should’ve taken my body with you. If you loved me that much, why did you leave me?”
Tepat ketika alunan musik berhenti. Sosok Damara hilang dari hadapan Jara. Jara telah terduduk di lantai sambil menangis kencang. Ia memukuli dadanya yang sesak terendap duka.
Semua musik itu percuma, gelas anggur itu percuma, dirinya dalam balutan gaun hitamnya pun percuma. Tidak akan ada lagi dansa. Tidak akan ada lagi Damara.
Damaranya telah dibawa pergi semesta. Abu laki laki itu telah hanyut dilarung segara. Yang tersisa hanya dirinya yang dilanda sepi dan nestapa.